Cerita Pendek: Sumiati Al Yasmine
Hush. Semribit angin berkelak kelok. Mempermainkan pucuk pepohonan Tengkawang yang berderet rapi di sepanjang jalan. Perbatasan gang sepi merintih. Gelap mencekam. Hening seakan meraung-raung hendak menerkam. Langit gulita. Siluman-siluman bermata iblis bergelantungan di atas langit. Kedua mata mereka memerah dengan endapan darah yang mengental. Mendadak angin fohn membentuk ring of fire. Di dalamnya bersembunyi siluman berkepala serigala. Ia mengaum. Lantaran kehilangan mangsanya yang bersembunyi di balik kabut malam. Aku terperangah.
Untuk pertama kalinya kupijakkan kaki ke rumah yang tak kuinginkan. Rumah yang jauh dari keramaian. Bahkan bangunannya sudah tua. Ada bagian pondasi rumah yang mulai keropos. Lihatlah pagar rumahnya tak terurus. Berkarat berjamuran. Cat rumahnya sudah memudar. Bahkan mengelupas. Bentuk jendelanya kuno yang terbuat dari kayu Sungkai. Hal itu semakin memberikan kesan bahwa rumah ini sangatlah primitif. Ukiran seni yang ada di atas pintu sangatlah mengganggu. Betapa tidak. Ukiran tersebut membentuk gambar seekor ular yang menjulurkan lidahnya yang bersimbah darah. Aku ingin muntah jika melihatnya.
Entah apa alasan Ayah memilih rumah tua ini untuk kami tempati. Padahal rumah yang dulu masih layak untuk dihuni. Semenjak Ibu tiada, Ayah tak lagi nyaman tinggal di sana. Rumah yang kami tinggalkan itu menyimpan banyak kenangan tentang Ibu. Mungkinkah kenangan itu selalu menyiksa dirinya? Hal tersebut sepertinya menjadi alasan mendasar kenapa kami pindah ke rumah tua ini. Sial. Di rumah jelek inilah aku akan tinggal dalam jangka waktu yang lama.
Segala tentang rumah ini bernilai minus di mataku. Di ruangan tamu banyak benda-benda aneh yang tak kusukai. Ada gerabah usang. Kendi-kendi dengan motif perempuan bertaring. Lihatlah beberapa guci sompel yang terletak di setiap sudut ruangan. Membuat penilaianku terhadap rumah ini bertambah miris. Terlebih ada clurit bertengger di atas dinding ruangan tamu yang tak jauh dari kamar. Hal tersebut sangatlah mengganggu pemandanganku. Ditambah lagi dengan lemari hias yang dipenuhi dengan keris picit. Kelewang keramat semakin membuatku merinding. Tempat tinggal macam apa ini? Segalanya dipenuhi dengan benda-benda penuh misteri yang membuat tengkuk leher bergidik.
“Aku tak menyukai rumah ini.”
“Sayang, nantinya kau akan terbiasa tinggal di rumah ini. Ayah yakin itu.”
“Aku lebih suka rumah kita yang dulu. Aku ingin pulang ke sana!”
“Kita tak akan pernah kembali ke rumah itu lagi.”
“Kenangan tentang Ibumu membuat Ayah tersiksa. Kita harus bangun kehidupan lagi dengan nuansa yang baru.”
“Jika kita kembali ke rumah itu. Ayah tak kuasa menahan rasa kehilangan yang begitu dalam. Hal tersebut membuat Ayah berlarut-larut dalam kesedihan. Ayah harap kau mengerti tentang perasaan Ayah.”
“Kumau Ayah juga mengerti perasaanku. Aku tak ingin tinggal di rumah ini. Ayah sudah tak sayang lagi padaku!”
Bergegas aku pergi meninggalkan Ayah. Tak lagi kuhiraukan saat ia berulangkali memanggil namaku. Saat ini yang ada dalam hatiku hanyalah amarah yang meletup-letup tingkat tinggi. Amarah yang tidak akan lama lagi akan meledak. Aku lebih suka tinggal di rumah yang dulu. Karena aku merasa Ibu tak pernah pergi menjauh dariku. Ayah begitu tega memisahkan aku dari Ibu.
Hari-hari yang kulalui sangatlah berat. Aku harus memulai dari nol lagi. Di sekolah yang baru. Aku harus belajar berinteraksi untuk mengenal lingkungan asing yang tak aku sukai. Aku benci saat beberapa orang temanku bertanya perihal Ibu. Apakah dengan tidak memiliki Ibu menjadi aib yang memalukan? Aku benci jika mereka mulai menanyakan tentang penyebab kematian Ibu.
Yang kulakukan hanyalah membanting benda apa saja yang ada di dekatku, ketika teman-teman mulai menyinggung tentang Ibu. Lantas aku berteriak dengan penuh histeris. Alhasil mereka sering meledekku sebagai anak aneh yang suka kesurupan. Bagiku sama saja di sekolah maupun di rumah. Kedua tempat itu seperti neraka.
Sama dengan hari-hari sebelumnya. Ayah masih disibukkan dengan membenahi taman di pelataran depan rumah. Untunglah Ayah mengerjakannya tidak sendirian. Karena dibantu Mang Oman. Sementara Bibi Lastri yang tak lain istri Mang Oman bekerja sebagai pembantu setia di keluarga kami. Dari balik jendela kamar aku melihat Ayah dengan semangatnya menata Marigold yang ada di taman. Ia berusaha untuk mengisi waktu cuti bekerjanya dengan sebaik mungkin.
Kenapa Ayah tidak memotong pohon Gandaria yang tumbuh menjulang tinggi di samping rumah? Dedaunannya merimbun. Akar-akarnya menghujam kuat sampai ke ruas tanah. Pohon itu seram. Di atasnya dipenuhi perdu yang rerantingnya menjulur hingga ke tanah. Jika malam menjelang, pohon itu sepertinya berjalan. Semua akar-akarnya berkeluaran dari tanah. Reranting perdunya bergerak seperti tangan zombie yang hendak membunuh dengan brutal.
Usai makan malam. Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Menyelesaikan tugas yang paling aku sukai, yakni membuat gambar Ibu di buku kesayanganku. Malam yang pekat mengantarkanku pada kesunyian yang meranggas. Aku tertidur sembari memeluk gambar Ibu. Aku begitu merinduinya. Rindu setengah mati.
Aku tersentak saat terbangun dari tidur. Kamarku mendadak remang. Udara di sekelilingku terasa pengab. Serasa ada yang mengetuk-ngetuk jendela kamar. Lampu di kamarku padam. Lalu hidup lagi begitu seterusnya. Kudengar suara angin bergemuruh dari arah pintu kamar. Aku bergegas berlari. Yang ada di dalam pikiranku hanya satu; yakni Ayah.
Aku ingin menemuinya. Terus berjalan menyusuri ruangan tamu. Ketika melewati dapur kulihat Bibi Lastri telah tergeletak di atas lantai dengan bersimbah darah di sekujur tubuhnya. Kepalanya telah terpisah dari tubuhnya. Berteriak penuh kegamangan saat sosok bayangan hitam menghampiri, bahkan hendak membunuhku. Aku terus berlari. Degub jantungku berdetak tak karuan. Keringatku mengucur deras bagaikan hujan yang turun di tepian tundra.
“Ayah….! Ayah….!”
“Ayah di mana…..?” ucapku lirih sembari menahan isak tangisan.
Kedua simpul kakiku menggeletar saat berlari ke arah ruangan tamu. Kulihat Mang Oman telah sekarat. Kepala dan dadanya telah remuk redam di cengkeram bayangan hitam itu. Aku tercengang saat melihat jendela ruangan tamu telah porakporanda. Hancur berkeping-keping. Kulihat reranting perdu yang berasal dari pohon Gandaria di depan rumah bergerak dengan liar bagai lidah siluman, lantas menyeret tubuh Mang Oman kemudian melilitnya. Dalam sekejap mata tubuh itu telah terbenam ke dalam tanah.
Panik! Aku berlari sekuat tenaga. Tubuhku gemetar saking takutnya. Airmataku merintik. Kututup mulut dengan kedua tanganku. Aku takut suara isakan tangisanku akan terdengar. Aku terus mencari Ayah. Langkahku semakin gesit saat kulihat pohon Gandaria yang ada di depan rumah berubah menjadi siluman yang menakutkan. Akar-akar pohon itu yang tadinya menghujam ke bawah tanah, kini berhamburan keluar hendak membunuhku. Aku terus berlari. Aku tak tahu sampai kapan aku mampu bertahan.
“Ayah…..! Ayah……!”
“Ayah, aku ingin bersamamu.”
Aku mengendap-ngendap di balik lemari. Jangan sampai keberadaanku diketahui oleh siluman itu. Aku memutuskan untuk bersembunyi di balik lemari. Dari kejauhan, aku melihat Ayah. Aku ingin berteriak memanggil namanya. Hal yang tak terduga terjadi. Dari dalam perut siluman itu berkeluaran siluman berkepala serigala. Mereka mencabik-cabik tubuh Ayah dengan sadis. Ayah meronta kesakitan. Aku menjerit. Bergegas menghampiri Ayah.
“Jangan sakiti Ayahku. Aku sudah kehilangan Ibuku. Aku tak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya……”
“Quin jangan mendekat. Berlarilah sejauh mungkin.”
“Aku tak mungkin meninggalkan Ayah sendirian.”
“Pergilah Quin!” suara Ayah terdengar lantang. Darah segar telah merembes dari tubuhnya. Perlahan seluruh tubuh Ayah terlilit reranting perdu.
Beberapa siluman berkepala serigala mendekatiku. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan belatung bercampur nanah yang membusuk. Sekuat tenaga aku berlari. Kekuatan berlariku tak bisa menyamai kecepatan reranting perdu yang terus mengejar. Sebagian kakiku telah terlilit. Siluman berkepala serigala itu membuka rahang mulutnya dengan lebar. Kuraih benda terdekat yang ada di sekelilingku. Kedua kakiku telah mati rasa.
Belatung-belatung menjijikan itu berjatuhan ke arahku. Dengan tertatih aku terus memberontak. Kuraih keris yang ada di dalam lemari. Keris itu kutancapkan berulangkali tepat di kepala siluman tersebut. Bukannya cidera. Tapi siluman tersebut semakin murka. Ia kembali membuka rahang mulutnya dengan begitu lebar. Ular-ular berbisa berhamburan keluar dari mulutnya. Aku terus berlari menyusuri ruangan tamu.
Aku berharap ada seseorang yang menolong. Kedua mataku menatap tajam ke arah pintu. Kulihat gambar ukiran di atasnya sama persis dengan ular-ular yang kini tengah memburuku. Kutancapkan keris yang ada di tanganku tepat di atas pintu. Darah kental semerah saga telah merembes dari permukaan pintu.
Aromanya begitu amis. Anyir. Kutarik kembali kerisnya. Lantas kutancapkan berulangkali ke atas pintu. Astaga. Darah kental muncrat mengenai seluruh tubuhku. Bahkan membanjiri seluruh ruangan tamu. Kulihat siluman berkepala serigala dan ular-ular berbisa yang tadinya memburuku, kini telah hancur lebur menjadi puing-puing abu. Aku berlari sembari terisak dalam tangisan. Tangisan yang tertahan karena ketakutan. Aku mencari ayah. Ingin segera memeluknya. Biar ketakutan yang ada di hati segera terkikis, lambat laun akan menghilang.
Kulihat Ayah telah tergeletak tak berdaya dengan usus terburai. Bola mata sebelah kirinya mendosol keluar. Tubuh Ayah telah tercabik-cabik. Spontan, aku menangis histeris bagai orang gila.
“Ayah……”
“Quin. Kenapa kau menangis sayang?”
“Ayah!”
Tangisku bergemuruh bagai hujan drizzle yang berloncatan. Aku menatap Ayah dengan pandangan yang nelangsa. Dalam diam aku merintih dalam kepedihan.
“Ayah, benarkah kau Ayahku? Lantas siapa yang terbujur kaku di sana?”
“Tak ada siapa pun di sana, sayang.”
“Kau pasti berkhayal lagi dengan duniamu sendiri,” Ayah mengelus kepalaku. Memegang kedua tanganku dengan erat.
Ayah menuntunku dengan lembut. Sesekali ia elus pipiku. Ayah begitu sabarnya merawat putrinya sendiri. Terlebih ketika Ibu telah tiada. Ia tak pernah menganggap beban apalagi merasa aneh melihat tingkah laku putrinya yang mengalami skizofrenia. Yakni terjadinya ketidakseimbangan emosi dan pikiran. Seakan-akan orang tersebut memiliki dunia sendiri.
Penderita skizofrenia tidak dapat dilepaskan dari pengobatan. Mereka harus mendapatkan perawatan seumur hidupnya. Ayah tak pernah menganggapku “berbeda”. Ia selalu mengatakan bahwa aku adalah full moon. Bulan purnama kesayangannya. Bulan purnama yang sempurna, tanpa meninggalkan cacat. (*)
*) Sumiati Al Yasmine adalah penulis fiksi yang berdomisili di Gang Murni,
Medan Senembah Tanjung Morawa 2025