Catatan: S. Satya Dharma
Masjid Buya Hamka di Dusun Siberteng, Barusjahe, Tanah Karo
Hari Jum'at, 7/6/2024, Forum Sastrawan Deli Serdang (Fosad) yang terdiri dari S. Satya Dharma, Sulaiman Sambas, M. Yunus Rangkuti, Bung Kamal Nasution dan Husny Salvi melakukan ekspedisi kecil “Menapak Jejak Buya Hamka” di Tanah Karo dengan tujuan utama Dusun Siberteng, Desa Sikab, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Tanah Karo. Desa Sikab adalah gabungan dari dua Dusun, yakni Dusun Siberteng dan Dusun Kabung dengan pusat pemerintahan (Kantor Desa) berada di Desa Kabung.
Ekspedisi kecil ini dimulai ba'da Sholat Subuh, Pukul 05.30 Wib menuju Simpang Tahura (Tongkoh), sebelum masuk Kota Berastagi, lalu berbelok ke kiri menuju Barus Julu dan lanjut ke Barus Jahe. Rom-bongan tiba di Masjid Al Ikhlas Buya Hamka Dusun Siberteng tepat pukul 10.30 Wib. Setelah mengambil istirahat sejenak di Masjid tersebut, tim melanjutkan dengan berjalan kaki menapak jalan mendaki dan menurun menuju ke Pancuran Air “Lau Jabi-Jabi”. Pancuran air ini adalah sebuah sungai kecil dari sumber mata air yang bening, tempat di mana Buya Hamka pada waktu itu mengajarkan cara berwudhuk kepada penduduk Desa Siberteng, seusai beliau mensyahadatkan mereka.
Turun dari “Lau Jabi-Jabi”, ekspedisi hari itu dilanjutkan dengan Sholat Jum'at berjamaah di masjid Al Ikhlas Buya Hamka dengan Imam/Khatib Ustadz Yudi Sembiring, pemuda warga asli kampung Siberteng. Ustadz Yudi adalah Santri di Pondok Pesantren (Ponpes) At Tibyan yang terletak di Gang Mardisan, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang.
Setiap sholat Jum'at, Ustadz Yudi bergantian menjadi imam atau khatib dengan Ustadz Prinsip Tarigan (45 Tahun), pemuda kampung Siberteng yang merupakan Ketua BKM Masjid Al Ikhlas Buya Hamka, yang sekaligus merangkap Bilal Mayit di kampung itu. Kedua anak muda inilah yang sekarang menjadi motor utama dalam menggerakkan dakwah Islam dan mem-pertahankan aqidah umat Islam di Dusun Siberteng. Usai sholat Jum'at, tim Fosad terlibat dalam bincang-bincang akrab dengan sejumlah warga kampung, jamaah sholat.
Dari ekspedisi kecil menapak jejak Buya Hamka di Tanah Karo ini, khususnya di Dusun Siberteng, Barus Jahe, kami menemukan sejumlah fakta serius yang kiranya mendesak untuk kita tindaklanjuti bersama. Sebagaimana dituturkan oleh Ketua BKM Masjid Al Ikhlas Buya Hamka, Ustadz Prinsip Tari-gan, Kampung Siberteng dahulunya adalah sebuah Kampung yang dibuka atau didirikan oleh Marga Barus. Siberteng sendiri artinya kurang lebih adalah hamparan tanah yang luas.
Menurut Ustadz Prinsip Tarigan, Masjid Al-Ikhlas Buya Hamka yang dibangun pada tahun 1970 atau 54 tahun lalu, didirikan di atas tanah seluas kurang lebih 400 meter persegi (satu rante), yang diwakafkan oleh Bapak Kede Barus, salah seorang tetua kampung Siberteng. Pembangunan masjid itu memang diinisiasi oleh Buya Hamka dan adalah Buya Hamka sendiri yang melakukan peletakan batu pertamanya. Sayang, ujar ustadz Tarigan, tidak ada satu dokumentasi pun yang dibuat ketika itu, baik berupa foto maupun tulisan/prasasti.
“Fakta bahwa masjid dibangun oleh Buya Hamka berdasarkan penuturan saksi hidup, yakni sejumlah tetua kampung, yang beberapa di antaranya masih hidup sampai sekarang. Di antaranya adalah Bapak Sue Barus yang merupakan murid pertama Buya Hamka di Siberteng bersama Bapak Senen Barus dan Bapak Siden Barus,” ujar Ustadz Prinsip Tarigan.
Pada awalnya masjid yang dibangun ini berlantai semen dan sekelilingnya berpagar Bambu. Sengaja dipagar karena di kampung itu banyak binatang berkeliaran (terutama Anjing). Tapi seiring waktu, pagar bambu tersebut rusak. Dan atas swadaya masyarakat pagar bambu tersebut diganti dengan tembok bata, sedang lantai semennya yang juga sudah bolong-bolong diganti dengan keramik.
Fakta Sejarah
Sayangnya tidak ada catatan tertulis yang bisa memberi penjelasan kenapa dan untuk alasan apa Buya Hamka datang ke Siberteng. Siapa pula yang waktu itu mengajak beliau datang ke Desa tersebut. Yang pasti, seperti pengakuan almarhum Bapak Februari Barus sebagaimana dituturkan Ustadz Prinsip Tarigan, ketika itu Buya Hamka dijemput oleh Februari Barus dari Simpang Tanjung Barus yang jaraknya kurang lebih 15 Km dari Siberteng dengan Kereta Lembu (Pedati). Di Siberteng Buya Hamka kemudian menetap selama kurang lebih dua minggu dan tinggal di rumah Bapak Sue Barus.
Ketika pertama kali Buya Hamka datang ke Desa Siberteng, jumlah penduduk desa diperkirakan terdiri 100 Kepala Keluarga. Mayoritas dari penduduk itu tidak beragama (atau menurut ustadz Prinsip Tarigan disebut sebagai penganut agama Pemena = Pemula). Hanya sebagian kecil warga yang sudah beragama Kristen. Tapi ketika Buya Hamka datang, hampir seluruh warga Desa Siberteng berhasil beliau syahadatkan dan menjadi pemeluk Islam. “Setelah mengucap syahadat, pertama-tama yang dilakukan Buya Hamka adalah mengajarkan kepada warga cara berwudhuk di sebuah pancuran mata air di satu sungai kecil yang disebut Lau Jabi-Jabi,” tutur Ustadz Tarigan.
Menurut penuturan Ustadz Prinsip Tarigan lagi, Buya Hamka hanya selama 2 (dua) Minggu berada di Seberteng dengan menginap di rumah Bapak Sue Barus. “Tapi selama dua minggu itu Buya Hamka justru berhasil mengislamkan hampir seluruh warga kampung Siber-teng,” ujar ustadz Tarigan.
Penamaan Masjid di Desa Siberteng sebagai Masjid Buya Hamka bukanlah datang dari Buya Hamka. Pun Bukan pula dari warga. Ketika didirikan, tutur Ustadz Tarigan, warga dan Buya Hamka sepakat memberi nama Masjid tersebut dengan “Masjid Al Ikhlas”. Penambahan nama Buya Hamka atas masjid itu adalah atas saran Bapak Abdul Mun'im Ritonga, seorang Da'i dari Aljamiatul Wasliyah yang di tahun 1976 pernah melakukan dakwah ke desa tersebut.
“Bapak Mun'im Ritonga meng-usulkan penambahan nama Buya Hamka untuk masjid tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Buya Hamka yang telah membawa dan mengajarkan Islam ke Desa Tersebut. Dan warga menyetujuinya. Dengan demikian jadilah Masjid tersebut bernama Masjid Al Ikhlas Buya Hamka,” kisah Ustadz Tarigan.
Sayang, menurut Ustadz Prinsip Tarigan, sepeninggal Buya Hamka, tidak ada pembinaan berkelanjutan terhadap para muallaf di desa tersebut. Keadaan ini membuat banyak warga yang tadinya sudah memeluk Islam kembali ke agama asalnya (murtad).
Akibatnya, kata ustadz Prinsip Tarigan, dari yang tadinya umat Islam adalah mayoritas di Desa Siberteng, sekarang ini bahkan pemeluk Islam sudah menjadi minoritas. Dari sekitar 200 Kepala Keluarga penduduk Desa Siberteng saat ini, hanya tinggal 80 Kepala Keluarga yang memeluk Islam. “Hal ini sebagai akibat tidak adanya dakwah berkesinambungan setelah Buya Hamka pergi. Saat ini pendidikan agama untuk warga, khususnya belajar mengaji untuk anak-anak, hanya dilakukan oleh seorang ASN yang kebetulan ber-suamikan warga setempat bernama Ibu Aida Fitri br Lubis,” ujarnya.
Untungnya, meski kini umat Islam minoritas di Siberteng, kehidupan sosial kemasyarakatan warga Siberteng tetap rukun dan damai. “Di sini kami tetap saling menghor-mati, saling bergotong royong dan saling menjaga sesama warga sesuai dengan adat istiadat dan ajaran agama yang dianut masing-masing orang,”jelasnya.
Ustadz Tarigan mengaku bahwa sejumlah organisasi Islam memang pernah mengirim da'i ke kampung Siberteng untuk mengajarkan warga kampung tentang syariat Islam. Tapi entah mengapa rata-rata para da'i itu tidak bertahan lama. Bahkan ada da'i yang datang justru mengundang konflik dengan warga karena materi ceramahnya menyinggung perasaan warga.
“Sejak insiden da'i yang menyingsung perasaan warga itu, tak ada lagi da'i yang datang ke Desa Siberteng, sampai sekarang,” ujar ustadz Tarigan.
Butuh Dukungan
Dari fakta-fakta itu, bisa disimpulkan saat ini umat Islam di Desa Siberteng sangat membutuhkan dukungan moral bagi penguatan aqidah ke-Islam-an mereka. Terutama dengan memberikan pengajaran yang benar dan berkesi-nambungan tentang syariat Islam.
Di Siberteng, menurut penuturan Ustadz Prinsip Tarigan, bukan faktor ekonomi yang membuat agama Islam tertinggal, tapi lebih pada kurangnya bekal pemahaman.
Atas alasan itulah, kami merasa perlu menawarkan pada siapa saja untuk bersama-sama kita berjihad membantu membangun kembali pemahaman Islam warga muslim Siberteng. Untuk warga Desa Siberteng, harus ada format dakwah sebagaimana yang dilakukan Buya Hamka dulu.
Satu hal yang perlu diingat; Buya Hamka ketika dulu mendakwahkan Islam kepada warga Desa Siberteng, beliau tidak pernah berpretensi untuk menjadikan warga tersebut sebagai anggota organisasi Muhammadiyah. Ini tentu satu cara dakwah yang luar biasa.
Yang pasti, menurut kami jejak dakwah Buya Hamka di Tanah Karo, khususnya di Desa Siberteng adalah jejak yang sangat istimewa. Mengapa? Karena beliau berhasil mengislamkan warga desa Siberteng yang kala itu mayoritasnya belum beragama, tapi tidak sedikit pun menimbulkan konflik. Ini tentu saja perjuangan dakwah yang tidak mudah. Karena itulah ekspedisi kecil menapak jejak Buya Hamka di Tanah Karo ini menjadi sangat penting menurut kami, Forum Sastrawan Deli Serdang.
Saat ini, hal yang juga perlu mendapat perhatian adalah kondisi fisik bangunan Masjid Al Ikhlas Buya Hamka yang sekarang ini cukup memperihatinkan. Meski dari luar terlihat kokoh, ada beberapa bagian masjid yang mengalami kerusakan cukup parah. Terutama rumah nazir/marbot masjid yang terbuat dari kayu/papan keadaannya sudah rusak parah dan tak bisa digunakan lagi. Sykur alhamdulillah, berkat donasi yang yang dikumpulan Fosad, rumah naszir tersebut kini sudah direnovasi.
Di bagian belakang masjid, tempat wudhuk dan dinding kamar mandinya juga berlumut. Atap seng masjid juga ada yang bocor karena sudah cukup tua. Bagian asbesnya pun ada yang bolong. Air untuk berwudhuk memang cukup bening dan sejuk segar karena langsung ber-sumber dari mata air, tapi kondisinya saat itu tidak terawat dengan baik. Kini, berkat bakti sosial Fosad, tempat wudhuk dan kamar mandi juga sdalh mulai bersih.
Namun demikian, demi menghidupkan kembali syiar Islam warisan Buaya Hamka di Desa Siberteng, kami berkesimpulan Masjid Al Ikhlas Buya Hamka masih sangat membutuhkan uluran tangan para dermawan untuk menghindarkannya dari kerusakan fisik yang lebih parah. Begitulah! (*)